Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 16]
Minggu, 17 Desember 2017

Bismillah.

Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Kembali berjumpa lagi dalam seri mengenal Tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Kita masih berada di bagian awal bab keutamaan tauhid dan dosa-dosa yang terhapus olehnya.

Telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya bahwa tauhid menjadi sebab datangnya keamanan dan hidayah bagi manusia. Semakin sempurna seorang dalam mewujudkan tauhid maka semakin sempurna pula hidayah dan keamanan yang akan diraihnya. Hal ini mencakup hidayah di dunia maupun hidayah di akhirat, begitu pula keamanan di dunia dan di akhirat.

Pada seri sebelumnya juga telah kita bahas bahwasanya dosa-dosa merupakan perkara yang membahayakan diri kita. Sebab dosa itu akan mengotori hati dan mengurangi keimanan bahkan bisa merusaknya hingga hancur lebur. Syirik sebagai bentuk dosa kezaliman yang terbesar merupakan sebab terhalangnya manusia dari meraih keamanan dan hidayah itu.

Tauhid Pokok Syukur

Adalah sangat merugi orang yang telah diberikan nikmat kehidupan oleh Allah beserta nikmat-nikmat lain yang begitu banyak dan besar lantas justru mempersekutukan Allah dalam hal ibadah. Sungguh, hal itu merupakan tindakan keji dan tidak tahu terima kasih. Orang yang berbuat syirik bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah. Karena hanya Allah yang menciptakan dan memberi rezeki lalu mengapa dia justru memberikan ibadahnya kepada selain Allah?!

Dari sini kita mengetahui bahwa sesungguhnya tauhid itu adalah bentuk syukur yang paling utama. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan dalam sebagian karyanya bahwa pokok dari syukur itu adalah tauhid. Hal ini telah tersirat dalam firman Allah (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa….” (al-Baqarah : 21-22)

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah menerangkan, bahwa kedua ayat ini mengandung perintah pertama yang Allah perintahkan di dalam mus-haf al-Qur’an; yaitu perintah untuk beribadah kepada Allah -yang ini merupakan perintah paling agung- dan di dalam ayat itu juga terdapat larangan pertama yang Allah sebutkan di dalam mus-haf; yaitu larangan berbuat syirik kepada Allah dan menjadikan tandingan bagi-Nya -yang ini merupakan larangan terbesar-. Di dalam kedua ayat ini juga terkandung pengharusan kepada manusia untuk bertauhid uluhiyah; yaitu beribadah kepada Allah dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya (lihat dalam Min Kunuz al-Qur’an al-Karim, di dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/163) 

Dalam kalimat ‘sembahlah Rabb kalian’ dan ‘janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan’ terkandung makna yang sama dengan kalimat tauhid laa ilaha illallah. Kalimat ‘laa ilaha’ berisi penolakan ibadah kepada selain Allah, sedangkan kalimat ‘illallah’ berisi penetapan bahwa Allah semata yang wajib disembah.

Di dalam kedua ayat di atas juga terkandung penetapan tauhid rububiyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah pencipta manusia, yang menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan lalu menumbuhkan tanam-tanaman dan buah-buahan sebagai rizki untuk mereka. Di dalamnya terkandung pelajaran yaitu wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah sebagaimana mereka telah mengakui Allah maha esa dalam hal mencipta dan mengatur alam semesta.

Inilah yang biasa dikenal dengan istilah ‘tauhid rububiyah menjadi dalil atas tauhid uluhiyah’. Sebagaimana tidak ada pencipta selain Allah, maka demikian pula tidak ada yang boleh diibadahi dan disembah kecuali Allah semata. Metode semacam ini sering dijumpai di dalam al-Qur’an.

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah menjelaskan, “Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’: 92). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian.” (al-Baqarah: 21)…” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97)

Tauhid Rububiyah Saja Tidak Cukup!

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah menetapkan kebenaran hal ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini artinya mereka berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala, menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya, dan meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, mengakui Allah semata yang berhak diibadahi, menjalankan ibadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (lihat Fath al-Majid, hal. 15-16)   

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Mengapa para nabi tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid rububiyah dan dakwah kepadanya? Sebab tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah mereka akui. Mereka tidaklah mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun yang berani mengingkari tauhid rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan semata. Karena pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang meyakini -selamanya- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri. Bahkan, kaum Majusi Tsanuwiyah sekalipun; yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini memiliki dua pencipta. Meskipun demikian, mereka tetap meyakini bahwa salah satu diantara keduanya lebih sempurna. Mereka meyakini bahwa tuhan cahaya menciptakan kebaikan, sedangkan tuhan kegelapan menciptakan keburukan. Sementara mereka mengatakan bahwa tuhan cahaya adalah tuhan yang baik dan bermanfaat. Adapun tuhan kegelapan adalah tuhan yang buruk…” “…Intinya, tidak akan anda temukan selamanya seorang pun yang berkata bahwa alam semesta ini diciptakan tanpa adanya Sang pencipta, kecuali orang yang sombong. Sedangkan orang yang sombong semacam ini adalah termasuk golongan orang musyrik. Adapun masalah [tauhid] uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber pertikaian dan pertentangan antara para rasul dengan umat mereka.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21)  

Ternyata Orang Musyrik Lebih Paham

Salah satu diantara keadaan umat akhir zaman yang sangat memprihatinkan adalah ketidakmengertian banyak orang yang mengaku muslim tentang makna kalimat tauhid. Banyak diantara mereka yang menyangka bahwa tauhid itu adalah dengan meyakini Allah itu satu dan tidak terbagi. Atau tauhid itu adalah meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta.

Bagi mereka, orang yang sudah meyakini perkara-perkara ini telah mewujudkan maksud dari kalimat laa ilaha illallah. Karena makna kalimat ini -menurut mereka- adalah tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemberi rizki selain Allah, dsb. Padahal keyakinan semacam ini yang oleh para ulama biasa disebut dengan tauhid rububiyah adalah perkara yang telah diimani oleh kaum musyrikin di masa silam.

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan dari bumi, atau siapakah yang berkuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Niscaya mereka menjawab ‘Allah’. Maka katakanlah ‘lalu mengapa kalian tidak bertakwa.” (Yunus : 31)

Ayat tersebut menunjukkan dengan jelas kepada kita bahwa semata-mata mengakui Allah sebagai pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan serta mengatur segala urusan belumlah cukup untuk menjadikan pelakunya sebagai muslim. Mereka -kaum musyrikin- telah memahami dengan baik bahwa makna laa ilaha illallah adalah tidak ada yang boleh disembah selain Allah.

Oleh sebab itu ketika diserukan kepada mereka kalimat laa ilaha illallah, mereka pun menjawab -sebagaimana Allah kisahkan dalam al-Qur’an- (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan yang banyak itu hanya menjadi satu sesembahan saja. Sesungguhnya ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5)

Hal ini sangat berbeda dengan keadaan orang-orang di masa kini. Mereka yang notabene mengaku muslim dan telah mengucapkan kalimat syahadat tetapi di saat yang sama mereka justru tidak memahami maksud dari kalimat tauhid yang mulia ini. Karena itu tidaklah mengherankan apabila ada sebagian diantara mereka yang justru mempersembahkan ibadahnya, sembelihan dan nazarnya untuk selain Allah. Hal itu tidak lain disebabkan karena ketidakpahaman mereka terhadap kandungan kalimat tauhid ini.

Orang-orang musyrik di masa silam paham maksud kalimat ini sehingga mereka dengan terus terang dan tegas menolaknya demi mempertahankan tradisi kemusyrikan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Adapun orang-orang yang melakukan syirik di masa kini -yang secara lahiriah mengaku muslim- mengucapkan syahadat itu dalam keadaan tidak paham makna dan konsekuensinya. Sehingga mereka pun beribadah kepada kuburan, pohon keramat, batu-batu, wali, jin, dan lain sebagainya. Padahal setiap hari mereka mengucapkan laa ilaha illallah di dalam zikirnya yang bisa jadi mencapai puluhan bahkan ratusan atau ribuan kali.

Makna Kalimat Syahadat

Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla. Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud [beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan laa ilaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya (lihat Fatawa Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa kalimat tauhid ini mengandung makna tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Yang dimaksud tauhid ibadah adalah mengesakan Allah dengan segala bentuk perbuatan hamba yang bernilai ibadah -secara lahir maupun batin- seperti halnya sholat, puasa, zakat, haji, menyembelih kurban, nadzar, cinta, takut, harap, tawakal, roghbah, rohbah, doa, dan lain sebagainya yang telah disyari’atkan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, tauhid ibadah adalah menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata; sehingga barangsiapa yang menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia termasuk golongan orang kafir dan musyrik (lihat Ibnu Rajab al-Hanbali wa Atsaruhu fi Taudhih ‘Aqidati as-Salaf [1/297] oleh Dr. Abdullah al-Ghafili)

Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang ia merupakan kekhususan ilahiyah- maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)

Dengan demikian, seorang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah wajib mengingkari segala sesembahan selain-Nya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang disembah selain Allah, maka terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim dari Thariq bin Asy-yam radhiyallahu’anhu)

Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan tetapi tidak mengingkari sesembahan selain Allah atau justru berdoa kepada para wali dan orang-orang salih [yang sudah mati] maka orang semacam itu tidak bermanfaat baginya ucapan laa ilaha illallah. Karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu saling menafsirkan satu sama lain. Tidak boleh hanya mengambil sebagian hadits dan meninggalkan sebagian yang lain (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal. 12)

Syarat-Syarat Kalimat Tauhid

Kalimat tauhid tidak bisa diterima tanpa terpenuhi syarat-syaratnya. Oleh sebab itu ketika Wahb bin Munabbih -salah seorang ulama tabi’in- rahimahullah ditanya, “Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?” maka beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi tidaklah suatu kunci melainkan memiliki gerigi-gerigi. Apabila kamu datang dengan kunci yang memiliki gerigi-gerigi itu maka surga akan dibukakan untukmu. Apabila tidak maka tidak akan dibukakan surga untukmu.” (lihat al-Jami’ lil Buhuts wa Rasa’il oleh Syaikh Abdurrazzaq, hal. 558)

Dengan penelitian dan pengkajian para ulama maka disimpulkan ada tujuh syarat pokok dari kalimat tauhid ini, yaitu : ilmu, yakin, ikhlas, jujur, cinta, menerima, dan tunduk patuh. Ketujuh syarat ini merupakan kesimpulan dari berbagai dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Berikut ini secara ringkas penjelasan beserta dalilnya, kami ambil dari keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr.

Syarat Pertama : Ilmu.

Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah mengetahui makna dari kalimat tauhid, berupa penafian dan penetapan. Yaitu menafikan atau menolak segala ibadah kepada selain Allah, dan menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak untuk disembah. Oleh sebab itu kita selalu membaca dalam al-Fatihah ‘iyyaka na’budu’ yang maknanya adalah ‘hanya kepada-Mu kami beribadah’. Artinya kita tidak beribadah kepada selain-Nya.

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan mengetahui/berilmu bahwasanya tiada ilah -yang benar- selain Allah maka dia masuk surga.” (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa dipersyaratkan harus mengetahui makna laa ilaha illallah untuk bisa masuk ke dalam surga.

Syarat Kedua : Yakin.

Maksudnya adalah orang yang mengucapkan kalimat tauhid ini berada dalam keadaan yakin mengenai apa yang dia persaksikan. Tidak menyimpan keraguan. Dalil syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang benar selain Allah dan bahwa aku -Muhammad- adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa kedua persaksian ini tanpa menyimpan keraguan padanya melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim)

Syarat Ketiga : Ikhlas.

Yang dimaksud dengan ikhlas di sini adalah memurnikan ibadah dan amal untuk Allah semata, sehingga bersih dari syirik dan riya’. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’at dariku nanti pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dari hatinya.” (HR. Bukhari)

Syarat Keempat : Jujur.

Jujur atau shidq yang dimaksud di sini adalah seorang hamba mengucapkan kalimat syahadat ini dengan jujur dari dalam hatinya, tidak dengan kedustaan. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari dalam hatinya melainkan Allah haramkan atasnya neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syarat Kelima : Cinta.

Cinta atau mahabbah yang dimaksud di sini adalah mencintai Allah dan rasul-Nya serta kaum mukminin dan membenci siapa saja yang menyimpang dari kalimat laa ilaha illallah. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Simpul keimanan yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)

Syarat Keenam : Menerima.

Menerima atau qabul yang dimaksud adalah menerima kandungan kalimat tauhid ini dengan lisan dan hatinya. Tidak sebagaimana orang-orang musyrik yang menolak kandungan kalimat tauhid ini. Hal ini seperti yang dikisahkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Dan mereka mengatakan ‘apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami gara-gara mengikuti ucapan seorang penyair gila?’.” (ash-Shaffat : 35-36)

Syarat Ketujuh : Tunduk Patuh.

Tunduk patuh atau inqiyad maksudnya adalah orang yang mengucapkan kalimat laa ilaha illallah harus tunduk kepada aturan dan syari’at Allah. Istilah tunduk patuh ini dalam Al-Qur’an disebut dengan bahasa ‘memasrahkan wajah kepada Allah’. Sebagaimana dalam ayat (yang artinya), “Barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dan dia berbuat ihsan/kebaikan, maka sungguh dia telah berpegang teguh dengan buhul tali yang sangat kuat/al-‘urwatul wutsqa.” (Luqman : 22)

Inilah syarat-syarat dari kalimat laa ilaha illallah. Yang dituntut bukanlah semata-mata mengetahui dan menghafalkannya. Karena bisa jadi seorang muslim yang awam dan tidak menghafal ketujuh syarat ini akan tetapi dia telah memenuhi dan merealisasikannya. Sebaliknya, bisa jadi ada orang yang hafal ketujuh syarat ini namun justru terjerumus dalam hal-hal yang merusak dan membatalkannya. Oleh sebab itu yang dimaksud adalah hendaknya mengilmui dan mengamalkannya, bukan sekedar mengenal atau menghafalnya [Demikian sekilas faidah seputar syarat kalimat tauhid yang kami sarikan dari penjelasan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah sebagaimana tercantum dalam karya beliau yang berjudul ‘al-Jami’ lil Buhuts wa Rasa’il’ halaman 558-562]

Demikian sedikit catatan faidah yang bisa kami sajikan -dengan taufik dari Allah semata- semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-16/